Bandung ketika itu dipadati oleh banyak sekali wisatawan dari luar kota, terutama para pelancong dari ibukota. Maklum saja, musim liburan telah tiba. Kebetulan sekali hari raya Kelahiran Isa Almasih tahun 2010 ini jatuh tepat pada hari sabtu. Bagi yang tidak merayakannya, tentu saja mereka dengan senang hati memanfaatkan momen yang kerap kali disebut dengan istilah long weekend ini dengan berlibur, entah itu dengan beristirahat di rumah ataupun berpelesir ke berbagai tempat wisata. Saya sendiri tentu saja ingin ikut memanfaatkan momen ini seperti yang lainnya. Namun saya agak bingung, ke mana tempat terbaik untuk melancong di daerah sekitaran Bandung. Tapi tak apalah, saya tak ambil pusing. Sempat terlintas untuk mengunjungi Kebun Binatang Bandung. Bagi saya, tempat ini cukup bersejarah, mengingat tempat ini merupakan obyek wisata pertama yang saya kunjungi. Akhirnya saya memutuskan untuk mengunjungi Kebun Binatang Bandung yang terletak di jalan Tamansari, untuk sekedar bernostalgia.
Singkat cerita, setelah puas berkeliling dan melihat berbagai koleksi satwa, saya pun beristirahat di bangku taman tepat di depan kandang harimau. Entah kenapa spot di depan kandang harimau selalu menjadi favorit saya, sejak kecil, saya selalu tertarik melihat kucing besar tersebut. Sambil melepas lelah, saya memperhatikan ”si loreng” yang pada saat itu tak mau diam, mungkin karena gelisah menunggu ”sesajen” dari sang pawang. Semakin lama memperhatikan, rasa penasaran saya semakin menjadi terhadap spesies yang memiliki nama latin Panthera tigris ini. Entah karena keanggunan, keliaran, kebuasan atau kecantikannya, yang pasti harimau memiliki daya tarik luar biasa. Sepulang dari kunjungan ke Kebun Binatang, saya mencoba mencari berbagai data tentang ”si loreng” tersebut, sekedar memuaskan rasa penasaran saya.
Harimau-harimau di Nusantara
Dari berbagai sumber disebutkan bahwa ada tiga jenis sub-spesies harimau yang menghuni Nusantara ini, harimau Sumatera, harimau Jawa dan harimau Bali. Untuk dua sub-spesies terakhir dinyatakan punah di abad ke-20, sedangkan untuk harimau Sumatera, masuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah – critically endagered.
Harimau Sumatera – Panthera tigris sumatrae, spesies ini tergolong jenis yang sangat unik secara genetik. Dibandingkan dengan enam sub-spesies harimau lain yang masih hidup, Sumatran Tigermerupakan spesies yang terkecil, para pejantannya memiliki panjang tubuh kurang lebih 91 inci atau 250 cm, dari kepala hingga ekor, dengan berat sekitar 140 kg atau 300 Pound, tinggi pejantan dewasa dapat mencapai 60-75 cm. Sedangkan si betina sedikit lebih pendek dengan ukuran panjang tubuh kira-kira 78 inci atau 198 cm, dengan berat kurang lebih 91 kg atau 200 pound. Salah satu ciri khas dari harimau Sumatera yang membedakannya dengan harimau lain adalah surai – bulu-bulu panjang di bagian leher dan janggut yang lebih lebat. Keunikan lain dari spesies ini adalah warna bulunya yang lebih gelap, corak hitamnya lebih dominan dibandingkan dengan warna kuningnya. Sedangkan untuk corak kuning pada warna bulunya lebih tipis dan gelap, bervariasi setiap jenisnya, mulai dari warna kuning kemerah-merahan hingga berwarna oranye tua. Jika sedang melahirkan, warna bulu harimau Sumatera betina akan berubah warna menjadi hijau gelap.
Ukuran tubuhnya yang kecil tidak menghalangi Panthera tigris sumatrae menjadi salah satu predator terganas di hutan tropis Sumatera. Justru dengan ukurannya yang lebih kecil dan ramping, ia dapat dengan leluasa menjelajahi rimba Svarnabhumi. Harimau Sumatera memiliki selaput di sela-sela jari-jarinya yang memungkinkan untuk berenang lebih cepat dan gesit. Ia pun dapat memanjat pohon dengan cepat. Selain itu, harimau Sumatera memiliki daya adaptasi yang luar biasa, ia dapat hidup dimana pun, mulai dari dataran rendah hingga ke area pegunungan. Dengan kelebihan-kelebihannya tersebut, tak heran jika dari empat sampai lima ekor harimau Sumatera memiliki daya jelajah seluas 100 km.Sebagai salah satu predator yang memuncaki rantai makanan, harimau Sumatera hidup menyendiri, dengan kata lain tidak berkoloni – solitaire. Ia pun termasuk ke dalam golongan hewan malam – nocturne, karena harimau Sumatera mulai berburu mangsanya dari sore hingga malam hari. Ia pun termasuk hewan yang sabar menunggu mangsanya lengah. Harimau jenis ini dapat berkembang biak kapan saja. Usia kehamilan harimau Sumatera betina sekitar 103-106 hari, dan biasanya melahirkan dua sampai tiga ekor harimau, paling banyak enam ekor. Makanan utama dari spesies ini adalah celeng, rusa, unggas, ikan hingga orang utan. Umur dari harimau Sumatera rata-rata 15 tahun jika hidup di alam liar dan 20 tahun jika dirawat di dalam kandang.
Ciri-ciri yang menandakan kehadiran harimau Sumatera di suatu lingkungan adalah karakter suara raungannya yang keras dengan penekanan pada awal suaranya. Selain itu harimau Sumatera akan mendesis dan mengeong jika ia gelisah dan merasakan bahaya di sekitarnya.
Lain habitat, lain pula bentuk fisiknya, jika harimau Sumatera memiliki bentuk fisik yang kecil dan ramping, maka harimau Jawa – Panthera tigris sondaica memiliki bentuk tubuh lebih besar dan kokoh. Hewan ini termasuk hewan endemik Jawa – hanya bisa ditemukan di pulau Jawa saja. Habitat asli spesies ini tersebar di hutan-hutan Jawa Barat hingga Jawa Timur. Harimau Jawa jantan dewasa memiliki panjang tubuh sekitar 2.50 meter dengan berat kurang lebih 150-200 kg, sedangkan ukuran panjang tubuh betinanya sedikit lebih pendek dengan berat kurang lebih 75-115 kg. Ada hukum alam yang sangat unik mengenai ukuran fisik dari spesies harimau, dikatakan jika suatu habitat asli harimau semakin menjauhi garis khatulistiwa, maka ukuran harimau tersebut akan cenderung lebih besar. Hal ini pula yang menjadi jawaban mengapa harimau Benggala dan Siberia memiliki ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan harimau-harimau di Nusantara.
Banyak rumor mengenai harimau Jawa ini, awalnya dinyatakan punah di abad ke-20, namun kemudian ditemukan kembali beberapa tanda-tanda kehadiran dari harimau Jawa – Javan Tigertersebut. Hingga hari ini, berbagai prediksi dari para peneliti mengenai kepunahan dari harimau Jawa, mulai dari tahun 1938 hingga tahun 2007 selalu menemui kegagalan. Hal ini disebabkan karena di tahun-tahun selanjutnya selalu ditemukan tanda-tanda kehadiran spesies tersebut dalam bentuk cakaran, kotoran – feaces, jejak-jejak tapak kaki dan suara raungan. Uniknya, berbagai bukti-bukti tersebut selalu ditemukan oleh masyarakat lokal di sekitar habitat asli harimau Jawa serta para pemburu. Para penelitinya sendiri belum pernah melihat atau bertemu secara langsung dengan harimau Jawa yang legendaris tersebut. Pada abad ke-21 ini saja tercatat beberapa kejadian dimana masyarakat setempat menyaksikan kehadiran dari harimau jawa tersebut, diantaranya di daerah Batu, Malang – Jawa Timur, Wonogiri – Jawa Tengah dan Semarang – Jawa Tengah.
Banyak ahli mengatakan bahwa secara biologis, harimau Jawa memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat dengan harimau Bali. Bahkan banyak peneliti pula yang mengatakan bahwa kedua harimau tersebut merupakan satu spesies, tapi tak sedikit pula ahli yang menentang pendapat tersebut.
Ada satu hal yang sedikit janggal mengenai penamaan harimau Jawa ini, jika merujuk pada nama latin Panthera tigris sondaica, bukankah seharusnya disebut dengan harimau Sunda? Mengingat bahwa kata sondaica merujuk pada kata ”Sunda”. Jika kita menyebut harimau Jawa bukankah seharusnya memiliki nama latin Panthera tigris javanicus? Seperti halnya banteng Jawa – Bos javanicus? Wacana ini tentu saja bukan membela suatu suku bangsa tertentu. Ah mungkin harus kita serahkan saja masalah penamaan ini kepada yang lebih ahli.
Dari pemaparan mengenai harimau-harimau Nusantara di atas, kita mengetahui bahwa hewan tersebut terancam punah, bahkan sudah ada yang divonis punah! Kepunahan mereka tentu saja merupakan akibat dari ulah-ulah manusia tidak bertanggung jawab. Penebangan liar hutan –illegal logging, perburuan liar serta perdagangan gelap organ-organ tubuh harimau menjadi isu klasik dari penyebab menurunnya populasi harimau di Nusantara. Berbagai cara memang telah ditempuh, Undang-undang resmi tentang perlindungan satwa liar pun telah diperjuangkan, namun tetap saja masalah tersebut tak dapat terhindarkan. Bukan tidak mungkin saat menjelang pertengahan abad ke-21 harimau sudah benar-benar punah dan menjelang akhir abad 21, hewan cantik tersebut meraih gelar terhormat sebagai hewan mitologi Nusantara. Untuk sekarang ini cukuplah sebagai kandidat saja dulu.
Harimau dan Budaya Nusantara
Sebagai salah satu predator paling ganas, harimau banyak ditakuti dan disegani oleh binatang-binatang lainnya, termasuk oleh spesies jenis Homo sapiens. Siapa yang tak gentar jika berhadapan langsung dengan harimau? Gerakannya yang lincah dan gesit, terkamannya yang mematikan serta daya jelajah yang luas menjadikan harimau sebagai hewan yang unggul dibandingkan dengan hewan-hewan lainnya. Sosok harimau seolah-olah mengandung dualisme ;feminim – maskulin, dilihat dari fisiknya, ia cantik dan anggun, namun garang dan buas ketika bertarung menerkam mangsa.
Dengan keunggulan-keunggulannya tersebut, harimau menempati posisi penting dalam kebudayaan manusia, terutama di wilayah Nusantara Indonesia. Sosok harimau seringkali dianggap sebagai simbol keberanian, kedigdayaan serta kekuatan. Sumatera Barat contohnya, dimana harimau Sumatera – Panthera tigris sumatrae memiliki salah satu markas besar di sana. Pada zaman perang Padri atau Pidari yang berlangsung pada tahun 1821 hingga 1838, ada beberapa tokoh yang berjuang dalam sebuah gerakan reformasi Islam di Minangkabau. Gerakan tersebut dikenal dengan gerakan Padri atau Pidari. Tokoh-tokoh penggerak gerakan Padri tersebut dikenal dengan sebutan Harimau Nan Salapan. Julukan tersebut tentu saja mengacu pada keberanian tokoh-tokohnya dalam menegakkan Islam dan memberantas beragam jenis maksiat yang sedang marak di Minangkabau. Masih banyak lagi tentunya penamaan-penamaan yang mengambil sosok harimau sebagai simbol kekuatan atau keberanian.
Masih di daerah Minangkabau, selain dipercaya sebagai simbol kekuatan dan keberanian, harimau pun dianggap sebagai salah satu inspirasi dalam bertarung untuk membela diri. Setiap gerakan dari harimau tersebut ditiru dan diadaptasi menjadi gerakan-gerakan silat. Silat yang mengadaptasi gerakan harimau tersebut dikenal dengan nama Silek Harimau. Aliran silat tersebut pada awalnya hanya terbatas di kalangan keluarga saja, namun akhir-akhir ini, setelah bergabung dengan IPSI – Ikatan Pencak Silat Seluruh Indonesia, Silek Harimau dapat dipelajari oleh siapapun. Namun belum dapat dipertandingkan, karena setiap gerakan dari silat asli Minangkabau ini sangat mematikan dan selalu menyerang ke bagian vital lawan, persis seperti gerakan harimau yang mematikan.
Lain di Minangkabau lain pula di tatar Pasundan. Di tanah Priangan tersebut, salah satu kisah yang paling terkenal adalah ketika Prabu Siliwangi dari kerajaan Padjadjaran yang moksa –ngahiyang¬ atau menghilang baik raga serta ruh-nya dan beralih wujud menjadi harimau – Maung Lodaya. Setelah peristiwa tersebut, secara turun-temurun masyarakat Sunda percaya bahwa Prabu Siliwangi akan muncul pada saat-saat tertentu dalam wujud manusia atau harimau ketika tatar Sunda sedang tertimpa masalah. Dalam konteks ini dapat dilihat bahwa sosok Prabu Siliwangi yang sangat dihormati, disegani dan dicintai oleh masyarakat Sunda karena kebijaksanaan, keberanian dan integritasnya sebagai seorang raja sekaligus ksatria Sunda memilih beralih wujud menjadi seekor harimau. Jika dikaitkan pada konteks budaya Sunda, dapat dilihat bahwa sosok harimau itu sendiri sudah menempati posisi penting dan terhormat dalam alam pikiran masyarakat Sunda kuno – buhun, bahkan sebelum peristiwa moksa-nya Prabu Siliwangi tersebut terjadi. Pola pikir seperti itu, sebenarnya masih dipakai hingga zaman sekarang ini, contohnya saja pada pengabadian nama Prabu Siliwangi pada kesatuan TNI wilayah Jawa Barat – KODAM III Siliwangi disertai dengan simbol harimau sebagai lambang kesatuannya atau julukan Maung Bandung yang disandang PERSIB sebagai klub sepakbola kebanggaan masyarakat Jawa Barat.
Sosok harimau sebagai simbol keberanian dan kekuatan ternyata mempengaruhi pula dunia bahasa dan sastra sebagai salah satu produk kebudayaan manusia. Karya sastra berjudul 7 Manusia Harimau karya Motinggo Boesye tentu saja sangat mewakili pendapat ini.
Dengan peranan dan posisinya yang penting di kebudayaan masyarakat Nusantara, harimau secara tidak langsung sudah memenuhi salah satu syarat sebagai hewan mitologi. Hanya tinggal menunggu waktu saja untuk sampai pada tingkat kepunahan dan kemudian akan bergabung dengan Garuda, Naga dan Makara di dimensi mitologi. Kepunahan harimau tentu saja bukan hal yang menggembirakan, mengingat hewan ini memiliki peranan penting dalam menjaga keseimbangan alam, sebagai puncak dari rantai makanan dan peredam ledakan populasi hewan-hewan yang ada di tingkatan rantai makanan di bawahnya. Jika harimau punah, maka tentu saja keseimbangan alam akan rusak. Dampaknya memang tidak akan terasa secara langsung oleh manusia, apalagi oleh mereka yang hidup di perkotaan, namun lambat-laun imbasnya pasti akan terasa juga. Mudah-mudahan saja, pemerintah dan berbagai pihak-pihak yang terkait dengan konservasi satwa liar berhasil dalam mengatasi masalah harimau ini, dengan kata lain, mereka berhasil menggagalkan harimau meraih gelar hewan mitologi Nusantara! (pj)